subulussalam

subulussalam
bibit milik gpkel subulussalam yang akan dibagikan kepada masyarakat di hari lingkungan hidup sedunia 5 juni di tiap tahunnya...

Laman

Powered By Blogger

Jumat, 21 Januari 2011

Menjawab Kritikan Arthur Jeffery Terhadap Al-Qur’an

Arthur Jeffery (m. 1959) adalah seorang orientalis terkemuka dalam studi sejarah al-Qur’an. Ia menghabisi hampir keseluruhan hidupnya untuk mengkaji al-Qur’an. Ia mengedit beberapa karya para ulama kita seperti Kitab al-Masahif, karya al-Sijistani, anak Abu Daud, seorang Muhaddits terkenal dan juga Muqaddimah Kitab al-Mabani dan Muqaddimah ibn Atiyyah. Selain itu, Ia menulis beberapa buku lagi dan tentunya artikel yang berkaitan dengan al-Qur’an.Dalam pandangan Jeffery, al-Qur’an yang ada sekarang ini sebenarnya telah mengalami berbagai tahrif yang dibuat ‘Uthman bin Affan, al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi dan Ibn Mujahid. Menurut Jeffery, Uthman ra tidak sepatutnya menyeragamkan berbagai mushaf yang sudah beredar di berbagai wilayah kekuasaan Islam. Dalam pandangan Jeffery, tindakan Utham ra. tersebut, didorong oleh motivasi politik. Jadi, jika logika Jeffery diikuti, maka ‘Uthman telah melakukan tahrif pertama al-Qur’an dengan melakukan kanonisasi.
Jeffery juga menuduh bahwa al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi (m.95 H) telah membuat al-Qur’an versi baru secara menyeluruh. Jeffery juga menyalahkan Ibn Mujahid yang mengikis perbedaan qiraah dengan memprovokasi khalifah untuk menghukum Ibn Shanabudh di Baghdad (245-328). Selain itu, dalam pandangan Jeffey, al-Qur’an memuat sejumlah permasalahan yang sangat mendasar. (1) Aksara gundul di dalam Mushaf ‘Uthman yang menjadi penyebab perbedaan varian bacaan. (2) Mushaf-Mushaf yang sejak awal sudah beredar adalah Mushaf-Mushaf tandingan (rival codices). Berdasarkan Mushaf-Mushaf tersebut, Jeffery berpendapat bahwa al-Fatihah bukanlah bagian dari al-Quran. Al-Fatihah adalah do’a yang diletakkan di depan dan dibaca sebelum membaca al-Qur’an. (3) Jeffery juga menegaskan bahwa ada ayat-ayat yang hilang di dalam al-Qur’an.
Berikut ini jawaban kepada tuduhan-tuduhan Jeffery. ‘Uthman ra. melakukan standartisasi teks bukan karena alasan politis, namun untuk menghindari berbagai kesalahan yang akan terjadi pada al-Qur’an. Jadi, tindakan ‘Uthman ra sangat diperlukan karena Ia mempertahankan kebenaran otentisitas al-Qur’an. Oleh sebab itu, para sahabat saat itu menerima dengan senang hati keputusan Uthman untuk melakukan standardisasi. Menurut Mus’ab bin Sa‘d, tak seorangpun dari Muhajirin, Ansar dan orang-orang yang berilmu mengingkari perbuatan ‘Uthman ra. (Lihat Abu ‘Ubayd al-Qasim Ibn Sallam, Fadha’il al-Qur’an, Editor Wahbi Sulayman Ghawaji, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991, Cet. Pertama; lihat juga Abu Bakr ‘Abdullah Ibn Abu Daud Sulayman Ibn al-Ash’ath al-Sijistani, Kitab al-Masahif, Editor Muhibbuddin Abd Subhan Wa’id, Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyyah, 2002, Cet. Kedua, Jilid I ).
Jeffery dengan mengeksploitasi informasi yang ada di dalam Kitab al-Masahif, menuduh al-Hajjaj telah merubah al-Qur’an. Bagaimanapun, Jeffery tidak mengkaji lebih lanjut mengenai sanad yang ada di dalam karya tersebut. Padahal kalangan muhaddithun mengklasifikasikan ‘Abbad ibn Suhayb sebagai seorang yang ditinggalkan (ahad min al-matrukin). Ibn Hajar di dalam Lisan al-Mizan memuat berbagai pendapat para muhaddithun mengenai ‘Abbad ibn Suhayb sekaligus contoh-contoh hadits yang diriwayatkannya. Jadi, riwayat ‘Abbad bukan saja lemah, namun lebih tepat dikatakan palsu. Hampir seluruh muhaddithun, baik sebelum atau sesudah ‘Ibn Abi Dawud menolak hadits dari ‘Abbad ibn Suhayb. Riwayat dari ‘Auf ibn Abi Jamilah juga bermasalah. Sekalipun ia thiqah (terpercaya), namun punya kecenderungan syiah dan anti Umayyah. Al-Hajjaj, sebagai salah seorang tokoh Umayyah, wajar saja menjadi target ‘Auf ibn Abi Jamilah.
Argumentasi lain yang perlu juga dikemukakan sebagai berikut. Pertama, al-Hajjaj setia kepada ‘Uthman. Ia tidak akan memaafkan orang yang membunuh ‘Uthman. Ia akan membela Mushaf ‘Uthman dari segala bentuk perobahan. Kedua, pada zaman al-Hajjaj, Masahif ’Uthmani sudah tersebar dimana-mana dan jumlahnya sangat banyak. Al-Hajjaj adalah salah seorang saja dari Gubernur di zaman kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan (684-704 M), yang menguasai daerah yang lebih luas. Seandainyapun, al-Hajjaj sanggup mengubah berbagai salinan yang ada Kufah, daerah kekuasannya, tetap saja ia tidak akan sanggup mengubah ribuan atau semua salinan yang ada di Mekkah, Medinah, Syam, dan di daerah lain. Ini belum termasuk yang dihapal oleh puluhan ribu kaum Muslimin saat itu. Jelas, al-Hallaj tidak bisa merubah yang sudah dihafal oleh kaum Muslimin itu. Ketiga, seandainya al-Hajjaj mengubah Mushaf ‘Uthman, maka tentu ummat akan akan bangkit untuk melawan. Keempat, dinasti Abbasiah, yang didirikan di atas reruntuhan dinasti Umayyah, telah banyak merubah kebijakan yang sudah dibuat sebelumnya oleh dinasti Umayyah. Seandainya al-Hajjaj dari Bani Umayyah mengubah al-Qur’an, dinasti Abbasiah akan mengeksploitasi isu tersebut untuk menghantam al-Hajjaj atau Bani Umayyah. Namun, informasi seperti itu sama sekali tidak ada.
Tuduhan Jeffery kepada Ibn Mujahid juga tidak tepat karena memang bacaan Ibn Shanabudh adalah janggal (shadh). Ibn Shanabudh menyepelekan ortografi Mushaf ‘Uthmani dan isnad, padahal itu termasuk syarat yang ditetapkan oleh para ulama bahkan sebelum Ibn Mujahid. Syarat sahnya qira’ah itu adalah sesuai dengan ortografi Mushaf ‘Uthman, mengikut isnad dan sesuai dengan kaidah tata-bahasa Arab. Ini adalah Ijma‘ Ulama. Karena itu, sikap Ibn Mujahid terhadap Ibn Shanabudh didukung oleh para ulama lain. Selain Ibn Shunbudh, pemikiran Ibn Miqsam (m. 362 H) yang tidak menjadikan otentisitas isnad juga ditolak oleh para ulama yang sezaman dengan Ibn Miqsam. Akhirnya, Ibn Miqsam bertobat dan kemudian mengikuti kesepakatan para ulama.
Menurut al-Baqillani, perbedaan diantara para Qurra, bukan berarti mereka berijtihad dan bebas memilih sesuka hati cara baca apa saja sesuai dengan keinginan. Pendapat seperti ini sama sekali tidak ada dasarnya. Cara membaca bisa diterima jika hanya ditransmisikan dengan sanad yang otentik, yang merupakan Ijma‘ Ulama, sebagaimana praktek para salafi. Para Qurra tidak boleh membaca al-Qur’an tanpa memenuhi kesepakatan syarat-syarat riwayah. (Lihat Ahmad ‘Ali al-Imam, Variant Readings of the Quran: A Critical Study of Their Historical and Linguistic Origins, Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1998).
Jeffery juga tidak tepat ketika mengatakan bahwa aksara gundul adalah penyebab terjadinya perbedaan qiraah. Padahal perbedaan qira’ah berawal dan berasal dari Rasulullah saw sendiri. Al-Qur’an diwahyukan secara lisan dan ungkapan lisan Rasulullah saw kepada ummat berupa teks sekaligus cara mengucapkan (prononsiasi). Yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Para sahabat tidak ada yang menginovasi qira’ah. Qira’ah muncul karena sebagian Sahabat sulit untuk menggunakan dialek Quraisy. Qira’ah adalah sunnah yang harus diikuti (al-qira’ah sunnah muttaba’ah). Sekiranya pendapat Jeffery dan orientalis yang lain benar bahwa tidak adanya titik dan harakah menjadi penyebab utama perbedaan qira’ah, maka Mushaf Uthmani akan memuat mungkin jutaan masalah qira’ah, namun ini tidak terjadi. Selain itu, argumentasi Jeffery juga salah karena para Qurra’ banyak sekali yang sepakat dengan qira’ah dalam ortografi yang sama. (Lihat Muhammad Mustafa al-Azami, The History of The Qur’anic Text, from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments, Leicester: UK Islamic Academy, 2003).
Pendapat Jeffery yang mengatakan bahwa terdapat sejumlah Mushaf-Mushaf yang menandingi Mushaf ‘Uthmani juga tidak tepat. Mushaf-Mushaf tersebut saling berbeda antara satu dengan yang lain. Selain itu juga, terdapat sejumlah permasalahan mendasar di dalam Mushaf-Mushaf tersebut, yang sebenarnya adalah catatan pribadi para sahabat. Jadi, tidak tepat menganggap bahwa catatan tersebut sebagai al-Qur’an. Mushaf Abdullah ibn Mas’ud, misalnya, tidak mencantumkan surah al-Fatihah, al-Nass dan al-Falaq. Dalam pandangan Jeffery, al-Qur’an sebenarnya tidak memuat al-Fatihah. Pendapat ini jelas keliru.  Al-Fatihah adalah surah di dalam al-Qur’an yang paling sering dibaca dan bagian yang integral dari setiap rakaah. Di dalam sholat yang dapat diidengar, di baca 6 kali dalam satu hari dan 8 kali pada hari Jum’at. Oleh sebab itu, di dalam al-Tafsir al-Kabir, Fakhruddin al-Razi menolak pendapat yang mengatakan bahwa ‘Abdullah ibn Mas‘ud mengingkari al-Fatihah sebagai bagian dari al-Qur’an.
Jeffery juga berpendapat bahwa ‘Abdullah ibn Mas‘ud menganggap surah al-Nas dan al-Falaq tidak termasuk di dalam al-Qur’an. Pendapat ini tidak tepat karena yang dari murid-murid Ibn Mas‘ud, selain Zirr, semua meriwayatkan al-Qur’an dari Ibn Mas‘ud secara keseluruhan 114 surat. Menurut al-Baqillani, Ibn Mas‘ud tidak pernah menyangkal bahwa al-Fatihah dan juga surah al-mu’awwidhatain adalah bagian dari al-Qur’an. Orang lain yang salah dengan mengatasnamakan pendapat ‘Abdullah ibn Mas‘ud.
Selain itu juga, Jeffery sendiri mengakui terdapat perbedaan mengenai isi dari Mushaf ‘Abdullah ibn Mas’ud. Versi yang dikemukakan oleh Ibn Nadim di dalam Fihrist berbeda dengan versi al-Suyuthi di dalam Itqan. Selain itu, Ibn Nadim juga menyebutkan bahwa dia sendiri telah melihat al-Fatihah di dalam Mushaf lama Ibn Mas‘ud.
Mengenai al-Nas dan al-Falaq, seandainya kedua surah tersebut tidak termasuk dari al-Qur’an, niscaya akan muncul banyak riwayat di dalam hadith yang membenarkan fakta tersebut. Karena riwayat tersebut tidak ada, maka jelaslah Mushaf Ibn Mas‘ud tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk menolak kesahihan Mushaf ‘Uthman.
Mengenai Mushaf Ubay ibn Ka‘b, Jeffery mengatakan bahwa Mushaf Ubay memiliki banyak persamaan dengan Mushaf Ibn Mas‘ud dan mengandungi dua ekstra surah: al-Hafd dan al-khala‘. Padahal, Mushaf Ubay ibn Ka‘b juga banyak berbeda dengan Mushaf Ibn Mas‘ud dari segi susunan surah dan ragam bacaan. Selain itu, terdapat paling tidak dua versi yang berbeda mengenai susunan surah Mushaf Ubay. Bergsträsser sendiri, konconya Jeffery, berpendapat bahwa Mushaf Ubay kurang berpengaruh dibanding dengan Mushaf Ibn Mas‘ud. Selain itu juga, murid-murid Ubay dari generasi sahabat seperti Ibn Abbas, Abu Hurayrah, dan ‘Abdullah ibn al-Sa’ib menerima Mushaf ‘Uthman.
Mengenai riwayat yang mengatakan bahwa Mushaf Ubay mengandung dua surah ekstra; al-HafÌ dan al-khala‘, adalah riwayat palsu karena bersumber dari Hammad ibn Salama. Hammad meninggal pada tahun 167 H dan Ubay meninggal pada tahun 30 H. Jadi, paling tidak ada gap, dua sampai tiga generasi antara meninggalnya Ubay dan Hammad. Jadi, tidak mungkin Hammad bisa meriwayatkan langsung dari Ubay.
Mengenai Mushaf Ali ibn Abi Talib, Jeffery sendiri menyebutkan adanya perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa Mushaf ‘Ali disusun menurut kronologi, ada pula yang berpendapat bahwa surah-surah di dalam Mushaf ‘Ali disusun menjadi tujuh kelompok. Karena informasi mengenai bentuk dan kandungan Mushaf ‘Ali itu tidak jelas, maka sangat tidak tepat untuk menganggap sebagai rival apalagi ingin menyamakan Mushaf ‘Ali dengan Mushaf ‘Uthman. Selain itu, jika Mushaf ‘Ali dianggap berbeda maka ketika menjadi khalifah keempat, mestinya Ali ra kan merubah Mushaf ‘Uthman karena tidak sesuai dengan al-Qur’an yang sebenarnya. Namun, hal ini sama sekali tidak terjadi. Begitu juga ketika  pengikut Mu‘awiyyah yang dalam keadaan terdesak saat perang Siffin, mereka mengangkat Mushaf ‘Uthman sebagai tanda genjatan senjata. Saat itu, tidak ada seorangpun dari pengikut Ali ra. yang meragui Mushaf yang diangkat Mu‘awiyyah.
Bahkan Jeffery sendiripun menyatakan, bahwa Ali juga menyetujui kanonisasi yang dilakukan Uthman. Ali mengatakan ketika ‘Uthman membakar Mushaf-Mushaf: “Seandainya Ia belum melakukannya, maka aku yang membakarnya (law lam yasna‘hu huwa lashana‘tuhu).
Jeffery tidak mengerti ketika mengatakan bahwa ayat-ayat di dalam al-Qur’an hilang. Masalah seperti itu sudah dibahas oleh para ulama kita secara mendetil dalam Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh. Jadi, dihapusnya ayat-ayat tersebut dari al-Qur’Én adalah kehendak dan ketentuan Allah swt. Terhapusnya ayat-ayat tersebut bukan karena kesembronoan atau kesilapan yang dilakukan oleh Rasullullah saw atau para sahabat. Jadi, ayat-ayat tersebut memang sudah tidak ada ketika Rasulullah saw masih hidup.
Ringkasnya, kaum Muslimin perlu hati-hati supaya tidak terpengaruh dengan pemikiran orientalis. Masalah yang sebenarnya sudah dalam kategori al-thabat, bisa menjadi mutaghayyirat, jika tidak hati-hati dalam membaca karya yang di tulis oleh para orientalis.

Jumat, 14 Januari 2011

undang undang tentang pengolahan hutan

UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG KEHUTANAN
BAB V
PENGELOLAAN HUTAN

Bagian Kelima
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Pasal 46
Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.
Pasal 47
Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk:
a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; dan
b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Pasal 48
1. Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.
2. Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh pemerintah.

3. Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya.

4. Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang haknya.
5. Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.
Pasal 50
1. Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
2. Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
3. Setiap orang dilarang:
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
d. membakar hutan;
e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

4. Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 51
1. Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus.
2. Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
a. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
c. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
d. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
e. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang; dan
f. membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

*kebun produktif,,,hutan lestari....rakyat aceh sejahtera.

Senin, 10 Januari 2011

Konservasi Alam dan Lingkungan Dalam Persfektif Islam


subulussalam tercinta,
“Telah diketahui bahwa dalam makhluk-makhluk ini Allah menunjukkan maksud-maksud yang lain dari melayani manusia, dan lebih besar dari melayani manusia: Dia hanya menjelaskan kepada anak-cucu Adam apa manfaat yang ada padanya dan apa anugrah yang Allah berikan kepada ummat manusia.” (Taqi ad-Din Ahmad ibn Taimiyah)

Secara sistematik, para pakar Islam terdahulu sesungguhnya telah mempunyai keperdulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup dan konservasi alam, sebagaimana tercermin dari kata-kata Ibnu Taimiyah diatas। Oleh sebab Islam membawa kemaslahatan dan perbaikan (ishlah) terhadap bumi. Bagaimana dengan konservasi? Sebagaimana disepakati oleh para fuqaha, jika ingin melihat praktik mendasar tentang penerapan syariat yang absah, adalah dengan melihat bagaimana praktik Rasulullah SAW beserta para sahabat beliau dalam menerapkan ajaran Islam. Sedapatnya dalam mengkaji perihal konservasi ini, tensi kita tidaklah bersifat apologia terhadap ajaran Islam. Tapi setidaknya, dalam kondisi kekinian, kita menemukan Islam memberikan ajaran yang spesifik dalam persoalan perlindungan terhadap alam.
Dalam sejarah kemanusiaan konservasi alam bukanlah hal yang baru, misalnya pada 252 SM. Raja Asoka dari India secara resmi mengumumkan perlindungan satwa, ikan dan hutan. Peristiwa ini mungkin merupakan contoh terawal yang tercatat dari apa yang sekarang kita sebut kawasan yang dilindungi. Pada sekitar 624-634 Masehi, Nabi Muhammad SAW juga membuat kawasan konservasi yang dikenal dengan hima’ di Madinah. Lalu pada tahun 1084 Masehi, Raja William I dari Inggrismememeritnahkan penyiapan The Doomesday Book, yaitu suatu inventarisasi tanah, hutan, daerah penangkapan ikan, areal pertanian, taman buru dan sumberdaya produktif milik kerajaan yang digunakan sebagai daerah untuk membuat perencanaan rasional bagi pengelolaan pembangunan negaranya. [2] Jadi jelaslah, konservasi sebenarnya merupakan kepentingan fitrah manusia di bumi yang dari masa kemasa terus mengalami perkembangan disebabkan kesadaran kita guna mendapatkan kehidupan yang layak dan mampu memikirkan kelangsungan hidup generasi kini maupun yang akan datang. Maka tidak heran jika praktik konservasi telah ada dalam ajaran Islam.

Istitusi konservasi dalam syariat IslamSemangat konservasi dan pelayaan terhadap pelestarian alam dan lingkungan terdapat cukup banyak dalam istilah yang telah digunakan, baik yang kita temukan di dalam al-Qur’an maupun dalam kitab-kitab klasik. Beberapa diantaranya dalam istilah tersebut disebutkan secara spesifik dalam bentuk praktis yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Beberapa institusi penting yang dapat dipandang sangat vital sifatnya dilihat dalam kondiri terkini yang menyangkut : pembagian lahan, hutan, pengelolaan hidupan liar, pertanian dan tata kota, ada beberapa hal istilah[3]:
  1. Ihya al-mawat, menghidupkan lahan yang terlantar dengan cara reklamasi atau memfungsikan kawasan tersebut agar menjadi produktif
  2. Iqta, lahan yang diijinkan oleh negara untuk kepentingan pertanian sebagai lahan garap untuk pengembang atau investor.
  3. Ijarah, sewa tanah untuk pertanian.
  4. Harim, kawasan lindung.
  5. Hima, kawasan yang dilindungi untuk kemaslahatan umum dan pengawetan habitat alami.
  6. Waqaf, lahan yang dihibahkan untuk kepentingan public (ummat).
Pada prinsipnya, pandangan diatas memang melekatkan secara umum tentang keharusan mengelola lahan secara baik dan benar baik untuk kepentingan manusia maupun kemanusiaan, juga untuk kepentingan alam sekitar termasuk flora dan fauna yang termasuk ciptaan Allah SWT। Enam bentuk dan istilah istitusi ini dapat dijumpai di berbagai literatur tentang pengelolaan negara (seperti kibat al-Ahkam al Sulthaniyah) hingga kitab hukum perdata (Majalla al-Ahkam al-Adaliyyah yang sudah menjadi petunjuk pelaksanaan) dari berlakunya syariat Islam di jaman Turki Ustmani.
Kesimpulan
Hukum syariat Islam mempunyai bentuk-bentuk dasar dan semangat konservasi alam yang baik sebagai referensi. Beberapa prinsip diatas sebenarnya dapat diadaptasi sebagai bentuk dasar dalam konservasi alam melalui syariat Islam. Keperluan konservasi yang semakin kompleks dan meluas, dapat saling mengisi antara enam aspek diatas. Misalnya, apabila lahan di sekitar taman nasional masih diperlukan untuk pembangunan fasilitas taman nasional –yang diadopsi sebagai hima’—dalam syariat Islam, maka masyarakat dapat dilibatkan untuk mewakafkan lahan –sebagai bentuk amaliah--mereka untuk kepentingan konservasi alam.
Demikian pula zona-zona harim, dapat dimasyarakatkan melalui penyadaran kepada masyarakat bahwa melestarikan kawasan aliran air dan jasa ekosistem merupakan anjuran syariat. Maka dengan memahami penerapan syariat yang menganjurkan pada kemaslahatan bersama dan didalamnya adalah unsur ibadah kepada Allah SWT, akan lebih banyak partisipasi ummat dalam menyumbangkan lahan-lahan mereka untuk kepentingan konservasi, Insya Allah.
Wallahu ‘alam.
di kutip dari http://agamadanekologi.blogspot.com/2007/03/konservasi-alam-dan-lingkungan-dalam.html